Sering terbisik ditelinga kita ungkapan
“ contohlah padi, semakin berisi semakin tunduk”. Analogi ini memang sangat
bagus dijadikan sebagai motivasi, terlebih lagi dikalangan masyarakat pada umumnya
dan penuntut ilmu pada khususnya. Mengapa dianalogikan sebagai padi?. Kita bisa
mengamati bagaimana padi itu berproses, dari setitik benih yang dihamburkan di
tengah sawah (diampo’) dalam bahasa bugis Bone, tumbuh menjadi sebatang padi,
menghasilkan daun, hingga akhirnya menumbuhkan biji-bijian yang dikonsumsi oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Tentunya, analogi ini akan mengikuti
perkembangan zaman, yang berkembang dari waktu ke waktu. Hingga saya sempat
berpikir bahwa ketika padi diibaratkan llmu, maka matahari adalah agama
(keyakinan). Kita bisa melihat tanaman padi,
Awal mula kehidupan padi adalah ketika
bibit-bibit padi dihamburkan ke tengah sawah. Begitu banyak bibit-bibit padi
yang dihamburkan, tetapi tidak semuanya akan mencapai tahap puncak
(menghasilkan biji padi), hanya yang bertahanlah yang akan bisa dimanfaatkan
oleh manusia. Fase ini saya analogikan seperti sperma yang dikeluarkan seorang
ayah, berjalan memasuki rahim seorang ibu, melewati segala rintangan di
dalamnya hingga akhirnya hanya yang bertahan pula yang akan menjadi janin.
Disini kehidupan manusia berlangsung tanpa adanya campur tangan dari luar,
entah itu pemilik rahim maupun pemilik sperma.
Setelah bibit padi tumbuh menjadi tunas,
mulailah padi itu diberikan pupuk, disirami racun pembasmi hama, dan hal-hal
lainnya yang akan melindunginya agar bisa menjadi sebatang padi yang kokoh.
Begitupula ketika janin telah dilahirkan di muka bumi ini, dia akan menjadi
seorang bayi mungil yang akan selalu dilindungi oleh orangtuanya, agar dia
menjadi manusia dewasa.
Akhirnya dari tunas menjadi sebatang
padi yang kokoh, kuat, dan sudah mulai bisa melindungi dirinya sendiri.
Begitupula seorang anak remaja, yang sudah bisa mentaati perintah dari
orangtuanya, keluarga, bahkan masyarakat. Tanpa dia ketahui mengapa yang dilakukannya
itu diterima baik/ditolak oleh masyarakat. Di masa ini seorang remaja akan
lebih memikirkan harga dirinya agar bisa diterima baik oleh masyarakat, sudah
bisa membedakan perintah agama beserta larangannya. Di fase ini seorang anak
tadi mulai mengkonsumsi ilmu, bahkan haus akan ilmu.
Entah mengapa padi yang kokoh tadi,
tumbuh lurus menghadap ke matahari. Hal
ini dijelaskan dalam bidang biologi bahwa tanaman hijau yang tumbuh akan
mengarah ke matahari, entah itu pucuk atau daunnya. Megapa demikian?, karena
matahari adalah penyalur cahaya bagi tumbuhan padi untuk melakukan proses
fotosintesis. Dapat dikatakan bahwa mataharilah yang memberikan kehidupan
kepada sang padi. Ibarat manusia dewasa, fase ini saya sebut sebagai fase
penerimaan tanpa penyaringan. Dimana manusia dewasa menerima ilmu, dia sudah
bisa menggunakan akal dan pikirannya dalam membedakan hal yang baik dan buruk.
Hingga akhirnya ketika matahari
memberikan cahayanya, sang padipun melakukan proses fotosintesis yang
menghasilkan biji-bijian, semakin banyak biji-bijian yang dihasilkan, semakin
merunduk pula padi itu dan berpaling dari matahari, hingga ia dipetik dan
dikonsumis oleh manusia.
Lalu apa masalahnya? Tidak ada masalah
di dalamnya, akan tetapi ketika seorang manusia terlahir di dunia ini, dia
terlahir sebagai manusia fitrah, bersih dan bagaikan kertas putih. Ketika dia
diajarkan kebaikan maka dia akan melakukan kebaikan, begitupun sebaliknya,
ketika dia diajarkan keburukan, maka keburukan pula yang dilakukannya. Hingga
akhirnya seorang manusia menjadi dewasa dan mulai memiliki banyak pengetahuan
tentang agama. Semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya, semakin banyak pula
pertimbangan di dalam benaknya, hingga hal-hal yang seharusnya diyakininya pun
ditinggalkan lantaran tidak menemukan penjelasan ilmiahnya. Seseorang yang
dengan pengetahuannya akan meninggalkan agama jika dia tidak bisa membuktikan
kebenaran agama itu, dia meninggalkan agama dengan modal pengetahuannya yang
sangat luar biasa hingga jiwanya harus
bertatap muka dengan malaikat israil.
Janganlah berbangga diri dan tinggi hati
ketika memiliki pengetahuan, karena pengetahuan itu hanya sebatas ilmu tanpa
diaplikasikan. Dan ketika ilmu yang diaplikasikan bertentangan dengan agama,
maka ilmu itu hanya akan menjadi sebatas pengetahuan yang tidak bermanfaat.
Jika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saya, meski diam itu adalah emas,
akan tetapi berbicara pada saat yang dibutuhkan adalah berlian.
Yogyakarta, 5 Januari 2016
SULESSANA
0 komentar:
Posting Komentar