Minggu, 22 Mei 2016

Cengkraman Media Bagi Identitas dan Solidaritasku

CENGKRAMAN MEDIA BAGI IDENTITAS DAN SOLIDARITASKU
(Memiliki Media, Berarti Memiliki Masyarakat)
Oleh    : Ahmad Awaluddin Aras
            Manusia adalah tanda adanya kehidupan, kehidupan adalah tanda adanya interaksi, dan interaksi adalah tanda adanya komunikasi. Manusia dalam konteks masyarakat merupakan makhluk hidup yang bertanggung jawab atas dirinya. Akan tetapi, manusia tidak sepenuhnya bisa merealisasikan keinginannya, sehingga untuk saling melengkapi keinginan manusia satu dengan yang lainnya dikenalkah istilah kerjasama. Kerjasama menciptakan ketergantungan antara individu yang menjadi konstruk saling membutuhkan. Adanya ketergantungan ini membuat individu harus selalu hidup berdampingan dengan individu tempatnya bergantung. Individu dengan individu yang selalu saling tergantung menciptakan pola pikir yang sama, misi yang sejalan, saling mengerti akan kebutuhan individu lainnya, menekankan pentingnya nilai-nilai, emosi, partisipasi, peduli dan bangga sebagai anggota kelompok terhadap kelompoknya. Kesamaan seperti inilah yang disebut sebagai identitas sosial.
            Setiap kelompok yang memiliki identitas, mencoba untuk mempertahankan dan menjaga eksistensi identitas tersebut. Mulai dari doktrinitas setiap kelompok, terciptanya pemahaman yang sejalan, persaingan individu dengan individu lainnya di dalam kelompok, hingga persaingan antara kelompok. Persaingan individu dengan individu di dalam suatu kelompok terjadi karena adanya kepentingan posisi sosial. Apabila salah satu posisi sosial berubah maka akan merubah salah satu aspek identitas sosial seperti isi identitas, larat belakang identitas, definisi legitimasi perilaku dan pemberdayaan (Drury & Reicher, 2000, Drury & Reicher, 2004). Adapun Persaingan antara kelompok, jelas akan menimbulkan wabah radikalisme. Setiap kelompok selain mempertahankan identitasnya, juga melakukan ekspansi doktrinitas bagi kelompok lain, yang dampak negatifnya berupa konflik antara kelompok. Semakin sering konflik terjadi di dalam kelompok, semakin solidlah kelompok tersebut. Kelompok yang solid kemudian bermetamorfosa menjadi kelompok besar dan kuat. Semakin kuat dan besar suatu kelompok, semakin mudah pula mendapatkan pengikut.
            Melihat Indonesia sekarang, tidak bisa dipungkiri begitu maraknya kelompok-kelompok yang mengatas namakan agama. Di islam sendiri dikenal adanya kelompok Muslim Moderat, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Forum Umat Islam, Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Islam, Pemuda Muslim Indonesia dan lain sebagainya. Belum lagi dikalangan agama kristen yang juga dikenal adanya kelompok Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Kristen Bersatu (Gekribnis), Forum Komunitas Kristiani Indonesia (Fokkrindo), dan Ketua GAMKI. Kelompok besar yang salah persepsi inilah yang merupakan cikal bakal terjadinya konflik yang berkesinambungan. Ketika salah satu memulai membangunkan kelompok yang lainnya, maka semua kelompok akan merasakan gangguan tersebut, dan menaikkan statusnya menjadi siaga.
            Salah satu aspek yang menonjol dalam dinamika desentralisasi di Indonesia ini adalah konflik yang berakar pada identitas kelompok. Di Indonesia konflik antara kelompok banyak yang berawal dari pandangan esensialis tentang identitas, yaitu pandangan yang menganggap bahwa konflik itu merebak karena “diakibatkan” atau dipengaruhi oleh identitas kelompok yang berbeda. Beberapa artikel menyebutkan  bahwa konflik identitas etnis dan religius justru muncul dari perbedaan penafsiran tentang makna label sosial (Thung) dan garis kekerabatan (Bartels, Warta), atau dari penafsiran tentang posisi seseorang atau kelompok dalam struktur adat (F. Dan K. Von Benda-Beckmann, Ramstedt).
            Ada beberapa implikasi sosial yang inheren dalam pandangan opini publik. Satu diantaranya menunjuk pada peran yang dimainkan oleh media masa dalam proses opini. Artinya, bahwa media membantu menciptakan opini publik yang tidak semata-mata dengan mengatakan kepada rakyat apa yang harus dipikirkan (fungsi agenda setting). Akan tetapi juga ada arti lain, yaitu bahwa media memang mengatakan apa yang harus dipikirkan. Sejauh orang masih mengandalkan media yang mana pun, bagi sampling personal mereka tentang apa yang dipikirkan oleh orang lain, media menyajikan gambaran tentang konsensus sosial. Media telah memainkan peran sebagai second hand reality. Media juga telah menjadi guru dan menuntun kita untuk untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan sajiannya. Dan anehnya pun kita berlaku seperti murid yang baik, dalam mengambil keputusan kita tidak lagi mendasarkan pada realitas sesungguhnya, tapi pada makna yang diberikan oleh media tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa media sesungguhnya adalah sebuah konstruksi atas realita.
Provokasi atau solusi konflik menjadi sajian utama media massa umum di seluruh dunia karena isu ini memang menarik dan mengundang banyak viewer  untuk memperhatikannya. Isi media massa tak lepas dari berita-berita tentang konflik, terutama tentang kekerasan agama. Konstruk bad news is a good news tampaknya memang sudah melekat dalam pekerjaan setiap wartawan. Karena konflik adalah termasuk salah satu berita buruk juga yang kerap terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, maka berita-berita seperti inilah yang sering menjadi headline.
Sebagai penulis saya sering bertanya, apakah identitas individu di dalam suatu kelompok bisa terus terjaga esensinya? Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa identitas tersebutlah yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian di dalam diri individu. Tanpa identitas dalam suatu kelompok, ibarat berjalan di kegelapan tanpa cahaya. Hal ini juga senada dengan beberapa kajian psikologi yang mengungkapkan bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Dari pembahasan diatas, dapat kita sepakati secara bersama bahwa identitas harus tetap terjaga, namun bukan berarti radikal terhadap identitas tersebut. Salah satu cara mengenali identitas antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainya adalah dengan menggunakan media. Media sangat efektif dalam berbagi informasi terhadap kelompok, sekaligus sangat berpengaruh terhadap munculnya stigma negatif antara kelompok.
            Peran media dewasa ini berkembang dengan pesat. Media tidak hanya sebagai kanal pembawa informasi, tetapi sudah berkembang sebagai pusat informasi itu sendiri. Perkembangan media di era teknologi informasi ini memungkinkan semua lapisan masyarakat mengakses informasi secara bebas dan sangat terbuka. Kondisi demikian memungkinkan pemahaman yang berbeda dari masing-masing komunikan tersebut. Media sebagai komunikator mendistorsi substansi dari sebuah informasi yang memungkinkan misinterpretasi terjadi. Jika kesalahpahaman mencerna sebuah informasi terjadi dalam sebuah masyarakat yang komunal, maka potensi terjadinya konflik semakin besar.
Ilmu komunikasi dalam kajian media mengenal sebuah pendekatan penyajian realitas yang disebut analisis framing. Analisis framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan pada aspek tertentu dan untuk mengetahui bagaimana perspektif yang digunakan wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Perspektif itu akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita itu (Nugroho et all., 1999, hal. 21).
Analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas sosial dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi yang berarti realitas sosial dipahami dan dimaknai dengan bentukan dan makna tertentu. Kemampuan media untuk melakukan analisis framing  menjadi asumsi dasar bahwa media kurang atau mampu berperan sebagai sarana pencegah konflik dan kekerasan. Inilah sesungguhnya sebuah realitas politik, bagaimana media membangun, menyuguhkan, mempertahankan, dan mereproduksi, suatu peristiwa kepada pembacanya.
Robert Entman melihat framing dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu( Eriyanto, 2002). Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang di seleksi untuk ditampilkan. Entman merumuskan analisis Framing kedalam bentuk model sebagai berikut :
a.       Definisi Masalah (Defening Problem)
Bagaimana suatu peristiwa dilihat? sebagai apa? atau sebagai masalah apa?
b.      Memperkirakan Sumber Masalah (Diagnose Causes)
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa aktor yang dianggap sebagai penyebab masalah.
c.       Membuat Keputusan Moral (Make Moral Judgment)
Nilai moral apa yang dijadikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang digunakan untuk melegitimasi suatu tindakan?
d.      Menekankan Penyelesaian (Treatment Recomendation/ Suggest Remedies)
Penyelesaian apa yang ditawarkan media untuk mengetahui masalah itu?
Faktor pembaca pun penting di sini karena tidak semua pembaca media di Indonesia memiliki tingkat intelegensia dan kesadaran moral yang tinggi untuk memahami secara komprehensif sebuah berita. Prinsip “telan bulat-bulat” lebih banyak dikedepankan, daripada mencoba untuk cover all sides, mudah terprovokasi, terhasut, close minded  dan masih banyak sikap immature lainnya yang harus dirubah oleh para pembaca di Indonesia agar konflik tidak timbul, walaupun sudah dipicu oleh pemberitaan media yang dekonstruktif dan parsial. Walaupun begitu, dengan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat pada era ini, pembaca di Indonesia saya pikir sudah cukup dewasa untuk bisa memilah-milahin formasi mana yang kredibel dan mana yang tidak.
Berdasarkan konsep tersebut, masyarakat seharusnya bisa lebih jelih memilih dan memilah informasi. Setiap konsumsi publik tidak sepenuhnya benar, bisa saja merupakan pesanan untuk kepentingan pribadi baik dalam konteks politik, ekonomi maupun provokasi. Sumber media, hulunya bermula dari yang namanya opini pribadi, dalam hal ini opini wartawan atau media yang opini itu dilepas ke publik.
Langkah yang seharusnya dilakukan masyarakat dalam memilih dan memilah berita antara lain :
Pertama, masyarakat ketika melihat suatu pemberitaan, terlebih dahulu harus melihat latar belakang timbulnya pemberitaan tersebut, apakah berita yang ditampilkan itu mengandung provokasi atau tidak, apakah berita itu mendukung salah satu kelompok yang sedang berkonflik, apakah berita itu merupakan pesanan. Salah satu cara membedakan hal tersebut adalah dengan melihat kapan berita itu diterbitkan. Contoh konkrit yang pernah kita lihat secara bersama adalah pemberitaan kasus bom bunuh diri (terorisme) yang bertepatan dengan perpenjangan kontrak freeport.
Kedua, masyarakat dalam mencerna berita harus lebih jelih melihat siapa aktor atau kelompok yang menyebabkan berita tersebut. Jangan sampai berita tersebut mengkonstruk pola pikir kita yang bisa mengarahkan pandangan negatif terhadap kelompok atau aktor tertentu. Misalnya kasus mantan pimpinan KPK, Abraham Samad, yang disatu sisi amanah dalam mengerjakan tanggung jawabnya, menangkap banyak koruptor, akan tetapi disisi lain beberapa media mengkonstruk masyrakat agar berpandangan negatif terhadap pimpinan KPK tersebut dengan memunculkan berbagai kesalahannya. Dengan begitu, pimpinan yang tegas ini akan lebih mudah digantikan, dan para koruptor dengan mudah pula merajalela dan duduk disinggasananya sambil tersenyum manis.
Adapun  langkah konkrit yang seharusnya dilakukan wartawan dalam menyebarkan informasi, serta peranan media dalam mencegah konflik antara lain;
Pertama, seorang wartawan (media) jangan sampai mencampuradukkan antara fakta, opini, dan harapan. Jangan mengatas namakan suatu kelompok untuk mendukung isu pribadi, jangan menggunakan label kami, demi memperlancar kepentingan saya.
Kedua, bahasa dalam menyampaian berita jangan sampai bersifat provokatif, yang mengundang terjadinya kesalahpahaman antara kelompok.
Ketiga,  media harus bersifat netral, dan menghindari berita pesanan.
Keempat, wartawan (media) bukan hanya sekedar menyebarkan berita, akan tetapi perlu pula memperhatikan nilai moral di dalam pemberitaan tersebut. Semakin berita jauh dari moral, maka semakin berita itu akan mudah diterima dan terkonstruk di dalam masyarakat. Misalnya sazkia gotik yang jelas-jelas menghina pancasila, malah dijadikan duta pancasila, hal terburuknya adalah berita tersebut bukan hanya satu kali ditayangkan.
Kelima, media sewajarnya ketika memberitakan suatu perkara konflik, haruslah disertai dengan solusi terhadap konflik tersebut, bukan malah memprovokasi publik dengan bahasa diplomasi media.
Apabila konflik sudah terlanjur merebak, maka komunikasi dapat dilakukan dengan lebih intensif, antara lain melalui cara-cara sebagai berikut:
Pertama dengan menginvestigasi insiden yang terjadi melalui komunikasi intensif dengan pihak-pihak yang terlibat pertikaian.
Kedua dengan mengontrol isu-isu atau rumor untuk memperbaiki kesalahpahaman dan laporan-laporan yang bersifat memfitnah, antara lain melalui himbauan kontrol media dan menahan diri untuk tidak memberikan statement yang menyulut emosi.
ketiga dengan memfasilitasi dialog antara semua pihak yang terlibat pertikaian, agar terjadi komunikasi dua arah.
Keempat dengan memberikan contoh tindakan solidaritas dengan melibatkan semua pihak yang bertikai, berupa langkah konkrit untuk saling membantu “lawan” konfliknya.
Kelima dengan membangun keyakinan dan kepercayaan diantara pihak yang berkonflik melalui komunikasi persuasive.
Keenam dengan mendorong rekonsiliasi/perdamaian antara pihak-pihak yang berkonflik.
Ketujuh dengan meminta setiap pihak membuat kesepakatan tidak mengulangi insiden yang merugikan.
Kedelapan dengan membantu penyembuhan luka fisik, emosional, psikologis, dan spiritualnya melalui perilaku simpati dan empati dari semua pihak yang berkonflik.
Kesembilan dengan mengubah struktur dan system yang dinilai kurang sesuai di daerah konflik, sehingga nantinya terjadi perubahan sosial kearah yang lebih positif. Konflik ada bukan untuk dihindari, namun untuk diselesaikan dengan tindakan nyata dan tepat sasaran.
Adapun langkah untuk mengelola konflik dapat dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
a.          Analisis konflik, yaitu suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang (Fisher et al., 2000). 
b.         Strategi, yaitu serangkaian langkah yang saling terkait secara logis untuk menyelesaikan masalah, yang dapat diuji dan diubah sesuai dengan perkembangan situasi. 
c.          Tindakan, yaitu upaya langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan konflik.
d.         Proses belajar, yaitu proses evaluasi untuk merefleksi apa saja yang telah dikerjakan, sehingga kita dapat mengambil tindakan yang lebih bijaksana dan lebih efektif di masa depan. 
Di dalam tiap tahapan tersebut diatas, kegiatan komunikasi terus dijalin antara mediator, maupun pihak-pihak yang melakukan pertikaian. Agar konflik yang sudah terjadi dapat diselesaikan secara tuntas, perlu langkah konkrit jangka pendek/menengah/panjang, yang mencakup bidang militer/keamanan, politik/konstitusi, ekonomi/sosial, psiko sosial, dan internasional. 

Kesemua konsep penanggulangan konflik diatas, tidak adak terealisasi dengan lancar tanpa adanya dukungan penuh dari pemerintah. Pemerintah melalui KPI, hendaknya memberikan reward terhadap media yang memberitakan solusi, mengandung pesan moral, dan bersifat independent. Sebaliknya, pemerintah melalui KPI memberikan sanksi kepada media yang menjadi provokator dan memberi ancaman berupa kesalahpahaman antara kelompok, yang berimbas kepada konflik antara kelompok. Pemerintah, masyarakat, bahkan pemilik media, harus mengutamakan kerja sama demi terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur.

0 komentar:

Posting Komentar