(Memiliki Media, Berarti Memiliki Masyarakat)
Oleh :
Ahmad Awaluddin Aras
Manusia
adalah tanda adanya kehidupan, kehidupan adalah tanda adanya interaksi, dan
interaksi adalah tanda adanya komunikasi. Manusia dalam konteks masyarakat
merupakan makhluk hidup yang bertanggung jawab atas dirinya. Akan tetapi,
manusia tidak sepenuhnya bisa merealisasikan keinginannya, sehingga untuk
saling melengkapi keinginan manusia satu dengan yang lainnya dikenalkah istilah
kerjasama. Kerjasama menciptakan ketergantungan antara individu yang menjadi
konstruk saling membutuhkan. Adanya ketergantungan ini membuat individu harus
selalu hidup berdampingan dengan individu tempatnya bergantung. Individu dengan
individu yang selalu saling tergantung menciptakan pola pikir yang sama, misi
yang sejalan, saling mengerti akan kebutuhan individu lainnya, menekankan
pentingnya nilai-nilai, emosi, partisipasi, peduli dan bangga sebagai anggota
kelompok terhadap kelompoknya. Kesamaan seperti inilah yang disebut sebagai identitas
sosial.
Setiap
kelompok yang memiliki identitas, mencoba untuk mempertahankan dan menjaga
eksistensi identitas tersebut. Mulai dari doktrinitas setiap kelompok,
terciptanya pemahaman yang sejalan, persaingan individu dengan individu lainnya
di dalam kelompok, hingga persaingan antara kelompok. Persaingan individu
dengan individu di dalam suatu kelompok terjadi karena adanya kepentingan
posisi sosial. Apabila salah satu posisi sosial berubah maka akan merubah salah
satu aspek identitas sosial seperti isi identitas, larat belakang identitas,
definisi legitimasi perilaku dan pemberdayaan (Drury & Reicher, 2000, Drury
& Reicher, 2004). Adapun Persaingan antara kelompok, jelas akan menimbulkan
wabah radikalisme. Setiap kelompok selain mempertahankan identitasnya, juga
melakukan ekspansi doktrinitas bagi kelompok lain, yang dampak negatifnya
berupa konflik antara kelompok. Semakin sering konflik terjadi di dalam
kelompok, semakin solidlah kelompok tersebut. Kelompok yang solid kemudian
bermetamorfosa menjadi kelompok besar dan kuat. Semakin kuat dan besar suatu
kelompok, semakin mudah pula mendapatkan pengikut.
Melihat
Indonesia sekarang, tidak bisa dipungkiri begitu maraknya kelompok-kelompok
yang mengatas namakan agama. Di islam sendiri dikenal adanya kelompok Muslim Moderat,
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Forum Umat Islam, Front Pembela Islam, Hizbut
Tahrir Indonesia, Persatuan Islam, Pemuda Muslim Indonesia dan lain sebagainya.
Belum lagi dikalangan agama kristen yang juga dikenal adanya kelompok Gerakan
Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan
Kristen Bersatu (Gekribnis), Forum Komunitas Kristiani Indonesia (Fokkrindo),
dan Ketua GAMKI. Kelompok besar yang salah persepsi inilah yang merupakan cikal
bakal terjadinya konflik yang berkesinambungan. Ketika salah satu memulai
membangunkan kelompok yang lainnya, maka semua kelompok akan merasakan gangguan
tersebut, dan menaikkan statusnya menjadi siaga.
Salah
satu aspek yang menonjol dalam dinamika desentralisasi di Indonesia ini adalah
konflik yang berakar pada identitas kelompok. Di Indonesia konflik antara
kelompok banyak yang berawal dari pandangan esensialis tentang identitas, yaitu
pandangan yang menganggap bahwa konflik itu merebak karena “diakibatkan” atau
dipengaruhi oleh identitas kelompok yang berbeda. Beberapa artikel
menyebutkan bahwa konflik identitas
etnis dan religius justru muncul dari perbedaan penafsiran tentang makna label
sosial (Thung) dan garis kekerabatan (Bartels, Warta), atau dari penafsiran
tentang posisi seseorang atau kelompok dalam struktur adat (F. Dan K. Von
Benda-Beckmann, Ramstedt).
Ada
beberapa implikasi sosial yang inheren dalam pandangan opini publik. Satu
diantaranya menunjuk pada peran yang dimainkan oleh media masa dalam proses
opini. Artinya, bahwa media membantu menciptakan opini publik yang tidak
semata-mata dengan mengatakan kepada rakyat apa yang harus dipikirkan (fungsi
agenda setting). Akan tetapi juga ada arti lain, yaitu bahwa media memang
mengatakan apa yang harus dipikirkan. Sejauh orang masih mengandalkan media
yang mana pun, bagi sampling personal mereka tentang apa yang dipikirkan oleh
orang lain, media menyajikan gambaran tentang konsensus sosial. Media telah
memainkan peran sebagai second hand reality. Media juga telah menjadi guru dan
menuntun kita untuk untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan
sajiannya. Dan anehnya pun kita berlaku seperti murid yang baik, dalam mengambil
keputusan kita tidak lagi mendasarkan pada realitas sesungguhnya, tapi pada
makna yang diberikan oleh media tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa media
sesungguhnya adalah sebuah konstruksi atas realita.
Provokasi atau solusi konflik menjadi sajian
utama media massa umum di seluruh dunia karena isu ini memang menarik dan
mengundang banyak viewer untuk memperhatikannya. Isi media massa tak
lepas dari berita-berita tentang konflik, terutama tentang kekerasan
agama. Konstruk bad news is a good news tampaknya memang sudah melekat dalam
pekerjaan setiap wartawan. Karena konflik adalah termasuk salah satu berita
buruk juga yang kerap terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, maka
berita-berita seperti inilah yang sering menjadi headline.
Sebagai penulis saya sering bertanya, apakah
identitas individu di dalam suatu kelompok bisa terus terjaga esensinya?
Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa identitas tersebutlah yang berpengaruh
dalam membentuk kepribadian di dalam diri individu. Tanpa identitas dalam suatu
kelompok, ibarat berjalan di kegelapan tanpa cahaya. Hal ini juga senada dengan
beberapa kajian psikologi yang mengungkapkan bahwa lingkungan sangat
berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Dari pembahasan diatas,
dapat kita sepakati secara bersama bahwa identitas harus tetap terjaga, namun
bukan berarti radikal terhadap identitas tersebut. Salah satu cara mengenali
identitas antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainya adalah dengan
menggunakan media. Media sangat efektif dalam berbagi informasi terhadap
kelompok, sekaligus sangat berpengaruh terhadap munculnya stigma negatif antara
kelompok.
Peran
media dewasa ini berkembang dengan pesat. Media tidak hanya sebagai kanal
pembawa informasi, tetapi sudah berkembang sebagai pusat informasi itu sendiri.
Perkembangan media di era teknologi informasi ini memungkinkan semua lapisan
masyarakat mengakses informasi secara bebas dan sangat terbuka. Kondisi
demikian memungkinkan pemahaman yang berbeda dari masing-masing komunikan
tersebut. Media sebagai komunikator mendistorsi substansi dari sebuah informasi
yang memungkinkan misinterpretasi terjadi. Jika kesalahpahaman mencerna
sebuah informasi terjadi dalam sebuah masyarakat yang komunal, maka potensi
terjadinya konflik semakin besar.
Ilmu komunikasi dalam kajian media mengenal
sebuah pendekatan penyajian realitas yang disebut analisis framing. Analisis framing merupakan metode penyajian realitas
dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan
dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan pada aspek tertentu dan
untuk mengetahui bagaimana perspektif yang digunakan wartawan ketika menseleksi
isu dan menulis berita. Perspektif itu akhirnya menentukan fakta apa
yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa
kemana berita itu (Nugroho et all., 1999, hal. 21).
Analisis framing digunakan untuk
mengetahui bagaimana realitas sosial dibingkai oleh media. Pembingkaian
tersebut merupakan proses konstruksi yang berarti realitas sosial dipahami dan
dimaknai dengan bentukan dan makna tertentu. Kemampuan media untuk melakukan
analisis framing menjadi asumsi dasar bahwa media kurang atau mampu
berperan sebagai sarana pencegah konflik dan kekerasan. Inilah
sesungguhnya sebuah realitas politik, bagaimana media membangun, menyuguhkan,
mempertahankan, dan mereproduksi, suatu peristiwa kepada pembacanya.
Robert Entman
melihat framing dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan atau
penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu( Eriyanto, 2002).
Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan
beragam, aspek mana yang di seleksi untuk ditampilkan. Entman merumuskan analisis Framing kedalam bentuk model sebagai berikut :
a. Definisi Masalah (Defening Problem)
Bagaimana suatu peristiwa dilihat? sebagai apa? atau
sebagai masalah apa?
b. Memperkirakan Sumber Masalah
(Diagnose Causes)
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang
dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa aktor yang dianggap sebagai
penyebab masalah.
c. Membuat Keputusan Moral (Make Moral Judgment)
Nilai moral apa yang dijadikan untuk menjelaskan
masalah? Nilai moral apa yang digunakan untuk melegitimasi suatu tindakan?
d. Menekankan Penyelesaian (Treatment Recomendation/ Suggest Remedies)
Penyelesaian apa yang ditawarkan media untuk mengetahui masalah
itu?
Faktor pembaca pun penting di sini karena
tidak semua pembaca media di Indonesia memiliki tingkat intelegensia dan
kesadaran moral yang tinggi untuk memahami secara komprehensif sebuah berita.
Prinsip “telan bulat-bulat” lebih banyak dikedepankan, daripada mencoba untuk
cover all sides, mudah terprovokasi, terhasut, close minded dan masih
banyak sikap immature lainnya yang harus dirubah oleh para pembaca di Indonesia
agar konflik tidak timbul, walaupun sudah dipicu oleh pemberitaan media yang
dekonstruktif dan parsial. Walaupun begitu, dengan perkembangan teknologi
informasi yang sedemikian pesat pada era ini, pembaca di Indonesia saya pikir
sudah cukup dewasa untuk bisa memilah-milahin formasi mana yang kredibel dan
mana yang tidak.
Berdasarkan konsep tersebut, masyarakat seharusnya
bisa lebih jelih memilih dan memilah informasi. Setiap konsumsi publik tidak
sepenuhnya benar, bisa saja merupakan pesanan untuk kepentingan pribadi baik
dalam konteks politik, ekonomi maupun provokasi. Sumber media, hulunya bermula
dari yang namanya opini pribadi, dalam hal ini opini wartawan atau media yang opini
itu dilepas ke publik.
Langkah yang seharusnya
dilakukan masyarakat dalam memilih dan memilah berita antara lain :
Pertama, masyarakat ketika
melihat suatu pemberitaan, terlebih dahulu harus melihat latar belakang
timbulnya pemberitaan tersebut, apakah berita yang ditampilkan itu mengandung
provokasi atau tidak, apakah berita itu mendukung salah satu kelompok yang sedang
berkonflik, apakah berita itu merupakan pesanan. Salah satu cara membedakan hal
tersebut adalah dengan melihat kapan berita itu diterbitkan. Contoh konkrit
yang pernah kita lihat secara bersama adalah pemberitaan kasus bom bunuh diri
(terorisme) yang bertepatan dengan perpenjangan kontrak freeport.
Kedua, masyarakat dalam
mencerna berita harus lebih jelih melihat siapa aktor atau kelompok yang
menyebabkan berita tersebut. Jangan sampai berita tersebut mengkonstruk pola
pikir kita yang bisa mengarahkan pandangan negatif terhadap kelompok atau aktor
tertentu. Misalnya kasus mantan pimpinan KPK, Abraham Samad, yang disatu sisi
amanah dalam mengerjakan tanggung jawabnya, menangkap banyak koruptor, akan
tetapi disisi lain beberapa media mengkonstruk masyrakat agar berpandangan
negatif terhadap pimpinan KPK tersebut dengan memunculkan berbagai
kesalahannya. Dengan begitu, pimpinan yang tegas ini akan lebih mudah
digantikan, dan para koruptor dengan mudah pula merajalela dan duduk
disinggasananya sambil tersenyum manis.
Adapun
langkah konkrit yang seharusnya dilakukan wartawan dalam menyebarkan
informasi, serta peranan media dalam mencegah konflik antara lain;
Pertama, seorang wartawan (media) jangan
sampai mencampuradukkan antara fakta, opini, dan harapan. Jangan mengatas
namakan suatu kelompok untuk mendukung isu pribadi, jangan menggunakan label
kami, demi memperlancar kepentingan saya.
Kedua, bahasa dalam menyampaian berita jangan
sampai bersifat provokatif, yang mengundang terjadinya kesalahpahaman antara
kelompok.
Ketiga, media harus bersifat netral, dan menghindari
berita pesanan.
Keempat, wartawan (media)
bukan hanya sekedar menyebarkan berita, akan tetapi perlu pula memperhatikan
nilai moral di dalam pemberitaan tersebut. Semakin berita jauh dari moral, maka
semakin berita itu akan mudah diterima dan terkonstruk di dalam masyarakat.
Misalnya sazkia gotik yang jelas-jelas menghina pancasila, malah dijadikan duta
pancasila, hal terburuknya adalah berita tersebut bukan hanya satu kali
ditayangkan.
Kelima, media sewajarnya
ketika memberitakan suatu perkara konflik, haruslah disertai dengan solusi
terhadap konflik tersebut, bukan malah memprovokasi publik dengan bahasa
diplomasi media.
Apabila konflik sudah terlanjur merebak, maka
komunikasi dapat dilakukan dengan lebih intensif, antara lain melalui cara-cara
sebagai berikut:
Pertama dengan menginvestigasi insiden yang
terjadi melalui komunikasi intensif dengan pihak-pihak yang terlibat
pertikaian.
Kedua dengan mengontrol isu-isu atau rumor
untuk memperbaiki kesalahpahaman dan laporan-laporan yang bersifat memfitnah,
antara lain melalui himbauan kontrol media dan menahan diri untuk tidak
memberikan statement yang menyulut emosi.
ketiga dengan memfasilitasi dialog antara
semua pihak yang terlibat pertikaian, agar terjadi komunikasi dua arah.
Keempat dengan memberikan contoh tindakan
solidaritas dengan melibatkan semua pihak yang bertikai, berupa langkah konkrit
untuk saling membantu “lawan” konfliknya.
Kelima dengan membangun keyakinan dan
kepercayaan diantara pihak yang berkonflik melalui komunikasi persuasive.
Keenam dengan mendorong
rekonsiliasi/perdamaian antara pihak-pihak yang berkonflik.
Ketujuh dengan meminta setiap pihak membuat
kesepakatan tidak mengulangi insiden yang merugikan.
Kedelapan dengan membantu penyembuhan luka
fisik, emosional, psikologis, dan spiritualnya melalui perilaku simpati dan
empati dari semua pihak yang berkonflik.
Kesembilan dengan mengubah struktur dan
system yang dinilai kurang sesuai di daerah konflik, sehingga nantinya terjadi
perubahan sosial kearah yang lebih positif. Konflik ada bukan untuk
dihindari, namun untuk diselesaikan dengan tindakan nyata dan tepat sasaran.
Adapun langkah untuk mengelola konflik dapat
dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Analisis
konflik, yaitu suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan
konflik dari berbagai sudut pandang (Fisher et al., 2000).
b. Strategi,
yaitu serangkaian langkah yang saling terkait secara logis untuk menyelesaikan
masalah, yang dapat diuji dan diubah sesuai dengan perkembangan situasi.
c. Tindakan,
yaitu upaya langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan konflik.
d. Proses
belajar, yaitu proses evaluasi untuk merefleksi apa saja yang telah dikerjakan,
sehingga kita dapat mengambil tindakan yang lebih bijaksana dan lebih efektif
di masa depan.
Di dalam tiap tahapan tersebut diatas,
kegiatan komunikasi terus dijalin antara mediator, maupun pihak-pihak yang
melakukan pertikaian. Agar konflik yang sudah terjadi dapat diselesaikan secara
tuntas, perlu langkah konkrit jangka pendek/menengah/panjang, yang mencakup
bidang militer/keamanan, politik/konstitusi, ekonomi/sosial, psiko sosial, dan
internasional.
Kesemua konsep penanggulangan konflik diatas,
tidak adak terealisasi dengan lancar tanpa adanya dukungan penuh dari pemerintah.
Pemerintah melalui KPI, hendaknya memberikan reward terhadap media yang memberitakan solusi, mengandung pesan
moral, dan bersifat independent. Sebaliknya, pemerintah melalui KPI memberikan
sanksi kepada media yang menjadi provokator dan memberi ancaman berupa
kesalahpahaman antara kelompok, yang berimbas kepada konflik antara kelompok.
Pemerintah, masyarakat, bahkan pemilik media, harus mengutamakan kerja sama
demi terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur.
0 komentar:
Posting Komentar