(Pecinta Ngbrol
Pemikiran)
Nabi Muhammad SAW bersabda, “
Seburuk-buruk ulama adalah yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa
adalah penguasa yang mengunjungi ulama”. Berbahagialah seorang penguasa yang
berada di depan pintu orang miskin, dan celakalah orang miskin yang berada di
depan gerbang penguasa.
Sekilas, hadits Nabi itu akan bermakna
bahwa tidak layak bagi seorang ulama untuk mengunjungi pemerintah. Perbuatan seperti
itu membuat buruk citra ulama. Akan tetapi, pemaknaan hadits tersebut tidak
sedangkal pemikiran manusia, maksud dari mengunjungi diatas dapat diartikan
sebuah perbuatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Sebuah perbuatan yang
dilakukan agar mendapat penghidupan, kebahagiaan, hadiah bahkan kemudahan dari
penguasa.
Mengapa kita memakai konteks ulama untuk
menunjukkan tindakan KKN yang tidak terpuji itu? Kita ketahui bahwa di
Indonesia merupakan hal yang mudah untuk mendapat gelar Ustads, Kiai bahkan Ulama.
Di kampung saya sendiri, cukup menjadi imam sholat berjamaah sehari atau
seminggu, atau memberi ceramah ketika bulan ramadhan, atau khutbah jumat, kita
sudah dipanggil ustads oleh orang-orang di lingkungan tersebut.
Ulama identik dengan keimanan, ketaqwaan,
kebijaksanaan dan kharomah. Tetapi mengapa kita masih sering melihat pria
berjubah dan bersurban yang ikut partai politik, berbisnis gelap, menggunakan
gelar agamanya untuk mendapatkan banyak pengikut?. Hal-hal yang seperti inilah
yang ditakutkan sebagai manusia yang dangkal pemahaman. Kita sering terjebak
oleh penampilan, hingga lupa akan bahasa logika, kita terjebak dalam kekaguman
hingga lupa bahasa hati. Kita masih sering melihat seseorang dari penampilan
dibanding perilaku kesehariannya.
Tuhan bekerja dengan cara yang
misterius. Sebuah harta dan tahta barangkali terlihat menggiurkan untuk
dimiliki, membuat hidup bahagia dan tentram, tetapi sebenanrnya malah membuat
hidup terpuruk dan berada dalam kenistaan. Apabila segala sesuatu adalah sebagaimana
tampaknya, Nabi Muhammad tidak akan memperingatkan umatnya dengan oeringatan
yang keras dengan sabdanya “Tunjukkan kepadaku suaut hal sebagaimana adanya”.
Engkau melihat suaut hal menjadi tampak indah padahal kenyatannya buruk; engkau
melihat suaut hal tampak buruk padahal kenyatannya indah.
Jika ulama saja melakukan perbuatan KKN,
apalagi kita sebagai manusia tanpa gelar keagamaan. Jika ulama KKN kita mungkin
KKNKKN. Jadi wajar jika manusia berlomba-lomba untuk menjadi penguasa yang siap
disogok. Ulama buruk adalah mereka yang selalu menganggap bahwa dirinya adalah
tamu dan penguasa adalah tuan rumah.
Tetapi berbeda halnya ketika seorang
Ulama yang telah mengenakan jubah keilmuannya, dia melakukanbukan demi
penguasa, melainkan pertama dan yang paling utama karena Allah SWT. Ketika
seorang ulama berperilaku dan berjalan sepanjang jalur kebenaran, sebagaimana
yang semestinya dilakukan oleh seorang ulama, dan tidak berperilaku untuk
alasan lain, maka semua orang akan berdiri hormat kepadanya. Semua orang akan
mendapat limpahan cahaya yang memantul darinya. Segala perilaku ulama itu
selalu diatur oleh nalar dan naluri kebaikan. Dia hanya bisa hidup dalam
kebaikan sebagaimana ikan yang hanya bisa hidup di dalam air.
Ulama yang seperti inilah dengan segala kebijakan,
keimanan dan ketaqwaannya.yang ketika mengunjungi penguasa maka dialah yang
bertindak sebagai tuan rumah. Ibaratkan sebuah matahari yang mengubah bebatuan
menjadi rubik dan permata carnelian, mengubah gunung-gunung di bumi menjadi
tambang tembaga, emas, perak dan timah, membuat bui hijau dan segar,
menghasilkan bermacam-macam buah, sayuran, dan tanaman, Ibarat Air hujan di
tengah kemarau. Ulama seperti inilah adalah ulama yang selalu bermanffat bagi
masyarakat, yang membuat penguasa selalu menjadi tamunya.
Selama kita mengarungi kehidupan, kita
akan selalu dihadapkan oleh dua pilihan, menjadi orang baik atau orang buruk.
Gelar agama hanya pemberian masyarakat bagi mereka yang berhak untuk
menyandangnya, dan gelar agama bukan batasan untuk melakukan segala kebaikan
dan bermanfaat bagi manusia lainnya.
Referensi Bacaan :
Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya (Aforisme-Aforisme
Sifistik Jalaluddin Rumi, Penerj.
Anwar Holid, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000).
Mantap
BalasHapus