Sabtu, 13 Agustus 2016

Ulama VS Gelar Agama

Oleh : Sulessana
(Pecinta Ngbrol Pemikiran)

Nabi Muhammad SAW bersabda, “ Seburuk-buruk ulama adalah yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama”. Berbahagialah seorang penguasa yang berada di depan pintu orang miskin, dan celakalah orang miskin yang berada di depan gerbang penguasa.
Sekilas, hadits Nabi itu akan bermakna bahwa tidak layak bagi seorang ulama untuk mengunjungi pemerintah. Perbuatan seperti itu membuat buruk citra ulama. Akan tetapi, pemaknaan hadits tersebut tidak sedangkal pemikiran manusia, maksud dari mengunjungi diatas dapat diartikan sebuah perbuatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Sebuah perbuatan yang dilakukan agar mendapat penghidupan, kebahagiaan, hadiah bahkan kemudahan dari penguasa.
Mengapa kita memakai konteks ulama untuk menunjukkan tindakan KKN yang tidak terpuji itu? Kita ketahui bahwa di Indonesia merupakan hal yang mudah untuk mendapat gelar Ustads, Kiai bahkan Ulama. Di kampung saya sendiri, cukup menjadi imam sholat berjamaah sehari atau seminggu, atau memberi ceramah ketika bulan ramadhan, atau khutbah jumat, kita sudah dipanggil ustads oleh orang-orang di lingkungan tersebut.
Ulama identik dengan keimanan, ketaqwaan, kebijaksanaan dan kharomah. Tetapi mengapa kita masih sering melihat pria berjubah dan bersurban yang ikut partai politik, berbisnis gelap, menggunakan gelar agamanya untuk mendapatkan banyak pengikut?. Hal-hal yang seperti inilah yang ditakutkan sebagai manusia yang dangkal pemahaman. Kita sering terjebak oleh penampilan, hingga lupa akan bahasa logika, kita terjebak dalam kekaguman hingga lupa bahasa hati. Kita masih sering melihat seseorang dari penampilan dibanding perilaku kesehariannya.
Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Sebuah harta dan tahta barangkali terlihat menggiurkan untuk dimiliki, membuat hidup bahagia dan tentram, tetapi sebenanrnya malah membuat hidup terpuruk dan berada dalam kenistaan. Apabila segala sesuatu adalah sebagaimana tampaknya, Nabi Muhammad tidak akan memperingatkan umatnya dengan oeringatan yang keras dengan sabdanya “Tunjukkan kepadaku suaut hal sebagaimana adanya”. Engkau melihat suaut hal menjadi tampak indah padahal kenyatannya buruk; engkau melihat suaut hal tampak buruk padahal kenyatannya indah.
Jika ulama saja melakukan perbuatan KKN, apalagi kita sebagai manusia tanpa gelar keagamaan. Jika ulama KKN kita mungkin KKNKKN. Jadi wajar jika manusia berlomba-lomba untuk menjadi penguasa yang siap disogok. Ulama buruk adalah mereka yang selalu menganggap bahwa dirinya adalah tamu dan penguasa adalah tuan rumah.
Tetapi berbeda halnya ketika seorang Ulama yang telah mengenakan jubah keilmuannya, dia melakukanbukan demi penguasa, melainkan pertama dan yang paling utama karena Allah SWT. Ketika seorang ulama berperilaku dan berjalan sepanjang jalur kebenaran, sebagaimana yang semestinya dilakukan oleh seorang ulama, dan tidak berperilaku untuk alasan lain, maka semua orang akan berdiri hormat kepadanya. Semua orang akan mendapat limpahan cahaya yang memantul darinya. Segala perilaku ulama itu selalu diatur oleh nalar dan naluri kebaikan. Dia hanya bisa hidup dalam kebaikan sebagaimana ikan yang hanya bisa hidup di dalam air.
Ulama yang seperti inilah dengan segala kebijakan, keimanan dan ketaqwaannya.yang ketika mengunjungi penguasa maka dialah yang bertindak sebagai tuan rumah. Ibaratkan sebuah matahari yang mengubah bebatuan menjadi rubik dan permata carnelian, mengubah gunung-gunung di bumi menjadi tambang tembaga, emas, perak dan timah, membuat bui hijau dan segar, menghasilkan bermacam-macam buah, sayuran, dan tanaman, Ibarat Air hujan di tengah kemarau. Ulama seperti inilah adalah ulama yang selalu bermanffat bagi masyarakat, yang membuat penguasa selalu menjadi tamunya.
Selama kita mengarungi kehidupan, kita akan selalu dihadapkan oleh dua pilihan, menjadi orang baik atau orang buruk. Gelar agama hanya pemberian masyarakat bagi mereka yang berhak untuk menyandangnya, dan gelar agama bukan batasan untuk melakukan segala kebaikan dan bermanfaat bagi manusia lainnya.

Referensi Bacaan :

Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya (Aforisme-Aforisme Sifistik Jalaluddin Rumi,  Penerj. Anwar Holid, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000).

1 komentar: