Jumat, 26 Agustus 2016

Neuron Cermin

Neuron Cermin
(Sistem Saraf Kepekaan)

Lebih baik mana memiliki satu sahabat atau seribu teman?
Lebih baik mengatakan kebenaran meskipun itu pahit atau menutupinya dengan kebohongan demi menjaga perasaan?
Jika saya menjadi kamu, saya akan berprinsip lebih baik berteman dengan seribu orang dan mengatakan kebenaran yang pahit, karena hanya mereka yang menerima pahitnya kebenaran yang layak dijadikan sahabat.
            Yuk simak hal seputar Neuron Cermin.
Pada suatu ketika, saya merencanakan perjalanan kereta api dari Yogyaarta ke Bandung, muncullah pikiran terasing di dalam diri saya, yang tidak megenal siapapun di dalam kereta itu. Singkat cerita saya mendengar pekikan jauh di belakang saya, dari ujung satunya gerbong kereta itu. Spontan, punggung saya menghadap ke arah sumber jeritan itu. Namun, saya berhadapan langsung dengan seorang pria yang wajahnya terlihat agak cemas.
Pikiran saya berkejaran untuk memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang andaikan ada yang harus saya perbuat. Apakah itu perkelahian? Apakah ada orang yang mengamuk di gerbong sebelah? Atau apakah ada orang yang terjatuh dari gerbong? Atau jeritan itu sekedar jeritan senang, barangkali sekelompok remaja sedang kegirangan? Semua itu menjadi pertanyaan besar dalam pikiran saya.
Jawaban dari pertanyaan besar itu saya dapatkan dengan cepat dari wajah pria yang bisa melihat apa yang terjadi; kecemasan segera mereda, ia menjadi tenang dan kembali duduk menyeduh minumannya. Saya pun tiba-tiba menjadi rileks ketika melihat pria itu kembali duduk dengan wajah tenang.
Dalam saat-saat seperti ketika kecemasan melanda saya dengan tiba-tiba di dalam kereta, secara naluriah kita akan memperhatikan wajah orang-orang di sekita kita, wajah pria pertama yang saya lihat tadi menunjukkan kecemasan, karena dia juga tidak mengetahui penyebab teriakan tersebut, dan kamipun menjadi cemas. Disisi lain setelah saya mengarahkan pandangan ke pria yang mengetahui penyebab suata itu, dengan wajahnya yang rileks dan kembali duduk, membuat saya ikut rileks dengan anggapan tidak ada bahaya yang terjadi.
Penjelasan dari cerita diatas, pada zaman prasejarah, sekelompok manusia purba secara bersama-sama tentu memiliki lebih banyak mata dan telinga daripada seorang individu dan hal ini memungkinkan mereka memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dibanding seorang individu sendirian. Dalam bahasa yang mudah dimengerti, melihat seseorang yang menunjukkan mimik perasaannya, bisa membuat kita tersedot masuk ke dalam perasaannya.
Contoh lainnya, ketika seseorang yang senyum dengan anda, secara spontan anda juga akan senyum bukan? Ketika seseorang melihat anda dengan penglihatan sinis, secara spontan anda akan mengkerutkan dahi anda dan merasa tidak senang dengan orang itu bukan? Itulah yang dikatakan sebagai neuron cermin (Giacomo Rizzolatti,ilmuan Italia dalam bidang saraf). Neuron cermin memantulkan kembali tindakan yang kita lihat pada orang lain, membuat kita meniru tindakan atau terdorong untuk melakukan hal itu. Neuro cermin mengingatkan saya kepada pepatah lama “Bila engkau tersenyum, semua orang tersenyum kepadamu”.
Neuron cermin teraktifkan begitu kita mengamati orang lain, misalnya menggaruk atau mengusap air mata. Neuron cermin membuat emosi menular, membiarkan perasaan-perasaan yang kita saksikan mengalir melalui diri kita, membantu kita menjadi selaras dan mengikuti apa yang sedang terjadi.
Keterampilan sosial bergantung pada neuron cermin. Orang yang memiliki neuron cermin yang baik, setidaknya dia akan bersifat luwes, peka terhadap maksud dan tujuan orang lain (yah meskipun sering di php  sih), pendengar yang baik (meskipun dia merasakan kebosanan, tetapi mencoba bertahan dalam kebosanan tersebut), asyik diajak ngobrol, penyayang dan mudah bergaul. Biasanya orang ekstrovert akan lebih mudah mengendalikan dan mengarahkan neuron cerminnya dalam berinteraksi.
Jadi Guys, Semuanya ada ditangan anda.
Selamat berproses menjadi Bunglon Sosial


0 komentar:

Posting Komentar