Neuron Cermin
(Sistem Saraf Kepekaan)
Lebih baik mana memiliki satu sahabat atau seribu
teman?
Lebih baik mengatakan kebenaran meskipun itu pahit
atau menutupinya dengan kebohongan demi menjaga perasaan?
Jika saya menjadi kamu, saya akan berprinsip lebih
baik berteman dengan seribu orang dan mengatakan kebenaran yang pahit, karena
hanya mereka yang menerima pahitnya kebenaran yang layak dijadikan sahabat.
Yuk
simak hal seputar Neuron Cermin.
Pada suatu ketika, saya merencanakan
perjalanan kereta api dari Yogyaarta ke Bandung, muncullah pikiran terasing di
dalam diri saya, yang tidak megenal siapapun di dalam kereta itu. Singkat
cerita saya mendengar pekikan jauh di belakang saya, dari ujung satunya gerbong
kereta itu. Spontan, punggung saya menghadap ke arah sumber jeritan itu. Namun,
saya berhadapan langsung dengan seorang pria yang wajahnya terlihat agak cemas.
Pikiran saya berkejaran untuk memahami
apa yang sedang terjadi dan apa yang andaikan ada yang harus saya perbuat.
Apakah itu perkelahian? Apakah ada orang yang mengamuk di gerbong sebelah? Atau
apakah ada orang yang terjatuh dari gerbong? Atau jeritan itu sekedar jeritan
senang, barangkali sekelompok remaja sedang kegirangan? Semua itu menjadi pertanyaan
besar dalam pikiran saya.
Jawaban dari pertanyaan besar itu saya
dapatkan dengan cepat dari wajah pria yang bisa melihat apa yang terjadi;
kecemasan segera mereda, ia menjadi tenang dan kembali duduk menyeduh
minumannya. Saya pun tiba-tiba menjadi rileks ketika melihat pria itu kembali
duduk dengan wajah tenang.
Dalam saat-saat seperti ketika kecemasan
melanda saya dengan tiba-tiba di dalam kereta, secara naluriah kita akan
memperhatikan wajah orang-orang di sekita kita, wajah pria pertama yang saya
lihat tadi menunjukkan kecemasan, karena dia juga tidak mengetahui penyebab
teriakan tersebut, dan kamipun menjadi cemas. Disisi lain setelah saya
mengarahkan pandangan ke pria yang mengetahui penyebab suata itu, dengan
wajahnya yang rileks dan kembali duduk, membuat saya ikut rileks dengan
anggapan tidak ada bahaya yang terjadi.
Penjelasan dari cerita diatas, pada
zaman prasejarah, sekelompok manusia purba secara bersama-sama tentu memiliki
lebih banyak mata dan telinga daripada seorang individu dan hal ini
memungkinkan mereka memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dibanding
seorang individu sendirian. Dalam bahasa yang mudah dimengerti, melihat
seseorang yang menunjukkan mimik perasaannya, bisa membuat kita tersedot masuk
ke dalam perasaannya.
Contoh lainnya, ketika seseorang yang
senyum dengan anda, secara spontan anda juga akan senyum bukan? Ketika
seseorang melihat anda dengan penglihatan sinis, secara spontan anda akan
mengkerutkan dahi anda dan merasa tidak senang dengan orang itu bukan? Itulah
yang dikatakan sebagai neuron cermin (Giacomo
Rizzolatti,ilmuan Italia dalam bidang saraf).
Neuron cermin memantulkan kembali tindakan yang kita lihat pada orang lain,
membuat kita meniru tindakan atau terdorong untuk melakukan hal itu. Neuro
cermin mengingatkan saya kepada pepatah lama “Bila engkau tersenyum, semua
orang tersenyum kepadamu”.
Neuron cermin teraktifkan begitu kita
mengamati orang lain, misalnya menggaruk atau mengusap air mata. Neuron cermin
membuat emosi menular, membiarkan perasaan-perasaan yang kita saksikan mengalir
melalui diri kita, membantu kita menjadi selaras dan mengikuti apa yang sedang
terjadi.
Keterampilan sosial bergantung pada
neuron cermin. Orang yang memiliki neuron cermin yang baik, setidaknya dia akan
bersifat luwes, peka terhadap maksud dan tujuan orang lain (yah meskipun sering
di php sih), pendengar yang baik
(meskipun dia merasakan kebosanan, tetapi mencoba bertahan dalam kebosanan
tersebut), asyik diajak ngobrol, penyayang dan mudah bergaul. Biasanya orang ekstrovert
akan lebih mudah mengendalikan dan mengarahkan neuron cerminnya dalam
berinteraksi.
Jadi Guys, Semuanya ada ditangan anda.
Selamat berproses menjadi Bunglon Sosial
0 komentar:
Posting Komentar